Jumat, 15 Oktober 2021

Pandangan Freud tentang kecemasan

Freud memiliki sudut pandang yang unik mengenai dasar kecemasan yang terjadi pada seseorang. Ia menggunakan istilah trauma ‘kelahiran’ yang mengacu pada kecemasan luar biasa yang dihadapi bayi saat dilahirkan ke dunia. Menurutnya, pengalaman kita yang paling sulit dihadapi muncul ketika kita terpisah dari ibu saat dilahirkan ke dunia.

 

Dia menjelaskan bahwa trauma kelahiran terjadi dikarenakan secara tiba-tiba kita dipaksa keluar dari lingkungan yang nyaman dan memuaskan dalam rahim ibu menuju lingkungan dimana pemuasan kebutuhan kita sulit sekali diprediksi sehingga pada saat itu sang bayi menjadi tak berdaya menghadapi dunia yang baru. Menurut Freud, hal ini adalah dasar kemunculan rasa cemas pada seseorang di kemudian hari.

 

Kecemasan berfungsi sebagai peringatan potensi bahaya apabila seseorang berperilaku atau berpikir dengan cara tertentu. Hal ini membuat suasana hati menjadi tidak menyenangkan. Oleh karena itu, seseorang akan melakukan segala upaya untuk meredakannya. Dengan kata lain, kita akan cenderung menghentikan pikiran-pikiran atau perilaku-perilaku yang menyebabkan rasa cemas.

 

Macam-macam kecemasan oleh Freud dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:


  1. Kecemasan realitas, adalah rasa cemas yang diakibatkan oleh adanya obyek bahaya yang nyata pada lingkungan hidup seseorang. Untuk mengatasinya kita hanya perlu melakukan tindakan adaptif terhadap obyek bahaya yang menimbulkan kecemasan. Contohnya, seseorang akan menghindar ketika melihat ular berbisa atau mencari ranting kayu untuk menghalau ular tersebut. Freud menilai kecemasan realitas sebagai kecemasan yang paling mudah untuk diredakan dan juga menjadi induk kecemasan neurotik dan kecemasan moral.
  2. Kecemasan neurotik, adalah munculnya perasaan takut akan hukuman dari orangtua atau figur yang dihormati seperti guru, dll. Perasaan was-was atau ketakutan berlebihan akan muncul meskipun pelanggaran yang dilakukan seseorang belum tentu akan mendapat hukuman. Khayalan-khayalan seperti ini mengakibatkan distress maupun kepanikan berlebih yang membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih.
  3. Kecemasan moral, adalah rasa takut ketika seseorang melanggar standar nilai-nilai sosial atau nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua. Nilai-nilai ini tertanam dalam struktur kepribadian ‘superego’, apabila dilanggar membuat seseorang mengalami perasaan  bersalah. Sepintas tidak ada bedanya antara kecemasan neurotik dengan kecemasan moral. Pada kecemasan neurotik, seseorang akan mengalami perasaan takut dengan hukuman yang akan diterimanya dari orang lain (hukuman eksternal). Sedangkan pada kecemasan moral, perasaan bersalah yang muncul diakibatkan oleh hukuman internal (rasa bersalah) apabila nilai-nilai superego terganggu.

 

Umumnya, seseorang akan melakukan tindakan yang masuk akal guna meredakan kecemasan yang dialami. Dalam hal ini, ego berperan penting dalam memunculkan antikateksis sebagai ‘obat penawar’ kecemasan. Jika cara rasional dirasa tidak lagi efektif untuk meredakan kecemasan, maka ego akan menggunakan cara-cara irasional yang disebut ‘mekanisme pertahanan ego’.

Jumat, 01 Oktober 2021

Struktur kepribadian Sigmund Freud: Id, ego & superego

Menurut Freud, saat awal-awal manusia lahir di dunia, ia hanya dibekali satu komponen jiwa yaitu id. Seiring berjalannya waktu manusia menjadi dewasa dan memiliki dua komponen tambahan, yaitu ego dan superego. Jadi, jumlah keseluruhan komponen jiwa manusia dewasa ada tiga bagian dimana masing-masing memiliki perannya sendiri, antara lain:



Id

 

Berasal dari kata Jerman ‘das es’, yang dalam bahasa inggris menjadi ‘the it’. Id adalah sistem kepribadian yang sudah ada saat manusia dilahirkan. Letaknya berada di alam bawah sadar manusia dan beroperasi di sana. Oleh karena itu, cara kerja id tidak pernah disadari oleh manusia.

 



Gambar 1. Ilustrasi struktur kepribadian Sigmund Freud

 

Saat seseorang mengalami kekurangan dalam tubuhnya tegangan akan muncul. Selanjutnya, id akan merespons dengan menuntut agar tegangan tersebut dihilangkan dengan cara memenuhi kebutuhan seseorang sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu: berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Id terdiri dari atas energi insting yang murni dan tak pernah dewasa.

 

Pleasure principle diproses dengan dua cara, yaitu: tindakan refleks dan pemenuhan keinginan. Tindakan refleks adalah respons otomatis ke sumber ketidaknyamanan. Contohnya, bayi akan bersin saat merespons sumber tidak nyaman pada hidungnya. Tindakan refleks dapat mengurangi ketegangan secara efektif.

 

Pemenuhan keinginan bekerja dengan cara membayangkan sebuah objek yang bisa memuaskan kebutuhan seseorang. Gambaran mental ini disokong oleh kateksis untuk tetap ada sampai kebutuhan benar-benar terpuaskan. Proses membentuk gambaran mental yang dapat mengurangi tegangan disebut pemenuhan hasrat (wish fullfilment) semisal mimpi, lamunan, dan halusinasi. Contohnya, kebutuhan akan makanan memicu id untuk membentuk gambaran mental terkait makanan yang akan memberi efek sementara untuk mengurangi tegangan yang berkaitan dengan kebutuhan akan makanan.

 

Menurut Freud, id mempunyai sejumlah warisan genetik tentang pengalaman-pengalaman peredaan tegangan dari generasi-generasi terdahulu. Oleh karenanya, bayi yang belum memiliki pengalaman apapun di dunia ini dapat merespons kebutuhannya dengan mengandalkan memori genetik dari pendahulunya untuk mengurangi tegangan.

 

Jika proses pemenuhan keinginan diikuti dengan tindakan refleks maka disebut dengan proses primer. Meskipun demikian, proses primer id tidak efektif untuk memuaskan kebutuhan karena hanya mampu membayangkan sesuatu tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar dapat memuaskan kebutuhan. Oleh karena itu, sebuah upaya dilakukan id untuk mencari jalan mewujudkan khayalan itu secara nyata guna memperoleh kepuasan tanpa menimbulkan tegangan baru khususnya masalah moral. Jalan itu adalah ego.

Ego

 

Seperti id, ego juga berasal dari kata jerman ‘das ich’ atau ‘the I’ dalam bahasa inggris. Ego berkembang dari id untuk mencari cara lain memuaskan kebutuhan dengan objek nyata. Ini dikarenakan bahwa gambaran mental saja tidak cukup untuk mengurangi tegangan yang muncul akibat adanya kebutuhan. Sampai objek nyata benar-benar ditemukan, id akan terus menampilkan gambaran mental sebagai cara untuk menunda kenikmatan atau mencegah terjadinya tegangan baru.

 

Dalam usahanya memuaskan kebutuhan, ego berupaya mencocokkan gambar-gambar mental yang dibentuk oleh id dengan objek-objek dan kejadian-kejadian di dunia nyata. Freud menyebutnya sebagai proses identifikasi yang berdasarkan prinsip realitas. Contohnya, ketika seseorang merasa lapar, ego akan berusaha menemukan bukan lagi gambaran mental tentang makanan tetapi objek makanan yang nyata. Ego ada untuk melayani id dan membuat manusia menjalin kontak dengan pengalaman-pengalaman yang benar-benar bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.

 

Saat beroperasi, ego menggunakan proses sekunder dimana pengetesan realitas digunakan untuk menemukan objek-objek yang tepat. Proses tersebut melibatkan berpikir sebagai cara untuk menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud. Proses pengujian itu disebut uji realita (reality testing) dimana pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana yang telah difikirkan secara realistik.

 

Melihat cara kerjanya, dapat dimengerti bahwa sebagaian besar daerah operasi ego berada di kesadaran, namun ada sebagian kecil ego yang beroperasi di daerah prasadar dan daerah tak sadar. Ego adalah pelaksana dari kepribadian dan memiliki dua tugas utama, yaitu:

 

  1. Memilih rangsangan mana yang hendak direspon atau insting mana yang yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan,
  2. Menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan dapat terpuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang memiliki sedikit resiko.

 

Ego yang tidak memiliki energi sendiri berusaha untuk memperoleh energi dari id dengan melayaninya.  Selain melayani id, ego juga bertugas memenuhi superego akan moralitas dan kebutuhan perkembangan untuk mencapai kesempurnaan. Hubungan id dan ego dapat kita cermati lebih mendalam pada catatan Freud di bawah ini:

 

Gambar 2. Catatan Freud mengenai gambaran hubungan id dan ego

 Superego

 

Seperti dua rekannya, superego juga berasal dari kata jerman das uberich atau the over I dalam bahasa inggris. Prinsip yang dianutnya disebut prinsip idealistik (idealistic principle) yang menuntut nilai-nilai kesempurnaan. Superego berkembang dari ego yang juga tidak mempunyai energi sendiri. Daerah operasional superego juga sama seperti ego, yakni di tiga daerah kesadaran. Namun, yang membedakannya adalah superego tidak memiliki kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan-tuntutan akan kesempurnaan seringkali tidak realistik.

 

Superego berkembang dari ego, dimana ia mendapat nilai-nilai akan kesempurnaan dari dunia luar yakni orangtua. Sejak kecil manusia didik dengan pengontrolan oleh orangtua melalui larangan dan perintah. Pengalaman-pengalaman seperti ini secara bertahap membentuk nilai-nilai dianut oleh superego, antara lain:


  1.  Nurani/suara hati (conscience). Suara hati terbentuk dari berbagai larangan dan penghukuman yang diterima anak melaui orangtuanya. Hal tersebut merupakan akibat dari tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut orangtuanya. Melalui proses pengghukuman dan larangan inilah seseorang menginternalisasi nilai-nilai yang dianut orangtuanya atau hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukannya. Jika kelak si anak terlibat dalam perilaku-perilaku yang dilarang tersebut atau sekadar berpikir untuk melakukannya, maka hal tersebut akan membuatnya merasa bersalah.
  2. Ideal ego. Jika nurani atau suara hati terbentuk akibat penghukuman orangtua, maka sebaliknya, ideal ego terbentuk dari penghargaan yang diberikan orangtua kepada anaknya dikarenakan perilaku si anak yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut orangtuanya. Melalui  proses ini si anak akan menginternalisasi nilai-nilai dari orangtuanya mengenai apa saja perilaku yang boleh atau seharusnya dilakukan.

 

Freud meyakini bahwa superego dipengaruhi kuat oleh pengalaman yang terinternalisasi. Walau demikian, Freud juga percaya jika superego dipengaruhi pengalaman historis atau filogenetik yakni pengalaman yang diwariskan secara genetika.


Proses perkembangan nurani dan ego ideal ini disebut introyeksi (introjection). Seiring proses introyeksi kontrol pribadi secara perlahan akan mengambil alih kontrol orangtua. Ketika kontrol-diri seseorang menggantikan kontrol orangtua atau lingkungan, maka saat itulah dapat dikatakan superego telah berkembang sepenuhnya.


Gambar 3. Ilustrasi seorang ibu yang berupaya memberikan pengertian kepada anaknya


Seperti dikatakan sebelumnya bahwa superego mempunyai sifat yang tidak realistik seperti halnya id. Oleh sebab itu, pengalaman apapun yang mengganggu nilai-nilai yang terinternalisasikan dari seorang anak tidak bisa ditolerir oleh superego. Hal ini menjadikan tugas ego lebih kompleks lagi. Tugas ego tidak hanya harus menemukan objek dan kejadian yang dapat memuaskan id, dia juga harus memastikan objek dan kejadian itu tidak mengganggu nilai-nilai superego.

 

Contohnya, kebutuhan seorang anak untuk buang angin (maaf, kentut) muncul di saat acara perkumpulan keluarga. Tentunya id segera menuntut pemenuhan kebutuhan ini dengan segera. Saat si anak telah buang angin ibunya merespons dengan memarahinya dan mengatakan bahwa tindakan itu tidak baik, di posisi inilah si anak menginternalisasi nilai-nilai yang dibawa orangtuanya. Di waktu lain apabila si anak mengalami kejadian yang sama, si anak akan mencoba menahannya terlebih dahulu sampai ditemukan tempat atau situasi yang tepat untuk kebutuhannya buang angin. Hal ini disebabkan oleh munculnya rasa cemas atau rasa bersalah dalam dirinya apabila ia melakukannya di hadapan umum.

 

Dari penjabaran di atas disimpulkan bahwa fungsi superego ada tiga, yaitu:


  1. Mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik,
  2. Merintangi impuls id seperti impuls seksual atau agresif yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial,
  3. Mengejar kesempurnaan.

 

Id-ego-superego adalah sebuah tim yang bekerja bersama di bawah arahan ego. Jika muncul konflik di antara ketiga struktur tersebut, mungkin sekali timbul perilaku abnormal pada diri seseorang.

Rabu, 29 September 2021

Kateksis dan Antikateksis

 

Freud seringkali mengadaptasi teori dari ilmuwan lain ke dalam teorinya. Salah satunya adalah prinsip kekekalan energi yang dipelajarinya dari gurunya yang merupakan tokoh fisiolog kenamaan di Universitas Wina, Ernst Brucke (1819-1892). Oleh Freud, prinsip kekekalan energi di aplikasi ke tubuh manusia sebagai energi psikis. Menurut Freud, energi psikis inilah yang menggerakkan manusia untuk berperilaku dan membentuk kepribadiannya. Untuk mewadahi energi psikis ini Freud menggunakan istilah kateksis dan antikateksis yang selanjutnya akan di bahas lebih lanjut.

 

Di masa itu, Brucke bersama Hermann von Hemholtz (1921-1894) dan beberapa fisiolog lain mencoba mengubah pandangan disiplin fisiologi dari konsep-konsep keilmuan yang subjektif dan tidak ilmiah. Mereka mencoba menjelaskan semua kejadian fisiologis berdasarkan kejadian fisik yang dapat diketahui, diukur dan diverifikasi.

 

Hemholtz menjadi salah satu ilmuwan yang bisa menjelaskan hal tersebut. Dalam penelitiannya Ia dapat membuktikan bahwa energi total yang dikeluarkan oleh sebuah organisme setara dengan jumlah energi yang diperoleh dari makanan dan oksigen yang dikonsumsinya. Hal ini membuatnya menjadi ilmuwan yang pertama kali mengaplikasikan prinsip kekekalan energi ke organisme hidup. Perlu di ketahui, dalam prinsip kekekalan energi disebutkan bahwa dalam sebuah sistem energi tidak pernah diciptakan atau hilang selain disusun-ulang atau ditransformasikan ke dari suatu tempat atau bentuk lainnya.

 

Freud pun mengaplikasikan prinsip kekekalan energi ini ke jiwa manusia. Menurut Freud, setiap manusia dilahirkan dengan energi psikis yang kurang lebih sama jumlahnya, dan jumlah itu kurang lebih akan tetap sama sejak lahir hingga mati. Namun begitu, energi ini tidak pernah tetap atau pasif bentuknya, melainkan bertransformasi dan diubah-ulang terus-menerus. Bagaimana energi ini disalurkan itulah yang menentukan karakteristik kepribadian seseorang.

 

Freud menggunakan istilah kateksis, yang berasal dari kata Yunani kuno kathexo yang berarti menempati, untuk mendeskripsikan penginvestasian energy psikis dalam pemikiraan manusia. Energi psikis diubah dalam bentuk objek-objek, atau proses-proses mental lain yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan.

 

Menurutnya energi itu sendiri tidak pernah meninggalkan tubuh, namun jika sebuah energi sudah diinvestasikan ke dalam gambaran mental tentang sebuah objek, maka sebuah kerinduan yang intens akan muncul dalam bentuk pikiran, bayangan mental dan fantasi. Pikiran-pikiran ini terus berlanjut hingga kebutuhan terpuaskan. Setelah itu, energi terserak-serak kembali untuk kemudian tersedia bagi kateksis yang lainnya.

 

Menurut Freud, jika jiwa hanya memiliki id dan ego maka manusia akan menjadi seperti hewan. Maksudnya, apabila suatu kebutuhan muncul, sebuah bayangan mental (wish: keinginan atau harapan) tentang suatu objek yang dapat memuaskan kebutuhan akan terbentuk. Hal ini disokong oleh energi psikis untuk tetap ada yang karenanya akan menciptakan sebuah tegangan yang terus berlangsung hingga kebutuhan itu terpuaskan. Jika seperti hewan, orang tidak akan lagi merasa perlu untuk menghargai orang lain, dan tidak ada perbedaan antara objek yang pantas diterima dan tidak bagi pemuasan kebutuhan ini.

 

 


Gambar 1. Ilustrasi angan-angan yang muncul ketika seseorang merasa lapar

 

Semakin dewasa seseorang semakin pula meningkat pengalaman hidupnya, begitu juga nilai-nilai moral yang dianutnya. Dengan kata lain, superego juga berkembang diikuti dengan kebutuhan untuk menghambat hasrat-hasrat primitif tertentu. Oleh karena itu sejumlah energi psikis juga dibutuhkan untuk menghambat kateksis yang tidak pantas diterima. Freud menyebut energi yang dikeluarkan untuk menghambat tersebut  sebagai antikateksis.

 

Munculnya kateksis yang tidak pantas diterima berakibat pada munculnya kecemasan pada seseorang. Oleh karena itu ego dan superego sering bekerja sama untuk menciptakan sebuah antikateksis yang cukup kuat untuk menghambat kateksis primirif milik id. Bila energi psikis yang dialokasikan pada antikateksis lebih besar daripada besaran energi psikis pada kateksis milik id, maka akan muncul alternatif lain untuk memuaskan kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan awal bukannya dilenyapkan melainkan digantikan oleh objek lain yang lebih aman.

 

Senin, 27 September 2021

Dinamika Kepribadian Sigmund Freud

Seperti kita ketahui, kepribadian manusia muncul akibat proses psikologis yang ada dalam diri seseorang kemudian tampak dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. Proses psikologis yang kita sebut dengan dinamika kepribadian memiliki beragam teori-teori yang berbeda dari tokoh psikologi satu dan yang lainnya. Freud misalnya, beliau beranggapan bahwa semua aspek kepribadian manusia berakar dari insting-insting biologis.

 

Freud mengansumsikan manusia layaknya hewan yang pada umumnya terus mencari rasa senang dan menghindari rasa sakit. Menurutnya, ketika semua kebutuhan badani terpuaskan, manusia mengalami rasa senang. Sebaliknya, ketika satu atau lebih kebutuhan tidak terpuaskan manusia merasa tidak nyaman. Motif manusia untuk mencapai rasa puas inilah yang kemudian disebut oleh Freud sebagai Insting.

 

Gambar 1. Bagan dinamika kepribadian Sigmund Freud


Menurut Freud semua insting berkaitan dengan pemeliharaan hidup dan memiliki 4 karakteristik dasar, antara lain:


  1. Sebuah sumber, yaitu kekurangan yang dirasakan oleh tubuh,
  2. Sebuah tujuan, yaitu menghilangkan rasa kurang di tubuh agar keseimbangan internal terbentuk kembali,
  3. Sebuah objek, adalah sesuatu yang digunakan untuk menghilangkan perasaan kurang dalam tubuh,
  4. Daya pendorong/impetus, yaitu kekuatan yang membuat manusia memuaskan rasa kurang di tubuh (hal ini ditentukan oleh seberapa besar rasa kurang tersebut terjadi).

 

Gambar 2. Karakter anime one piece, Luffy, yang dikenal sebagai pribadi yang rakus.

 

Coba kita telaah lebih mendalam gambar di atas, disini dicontohkan bahwa orang tersebut merasa lapar (sumber), sehingga menimbulkan insting untuk mencari makanan guna menghilangkan rasa lapar(tujuan), kemudian ia berusaha mencari makanan (objek), orang tersebut memakannya dengan lahap dikarenakan selama berhari-hari tidak makan (impetus). Akibatnya, ia dipandang sebagai orang yang rakus oleh orang yang melihatnya ketika makan dengan lahap. Coba kita pikirkan, misalkan orang yang makan secara teratur tentu akan makan dengan santai atau tidak terburu-buru.

 

Freud membagi Insting menjadi dua jenis, yaitu:


1.     Insting kehidupan (eros)

Adalah dorongan yang berupaya menjamin berlangsungnya hidup manusia dan reproduksi. Misalnya rasa lapar mendorong manusia untuk makan dan bertahan hidup lebih lama dan menimbulkan rasa kenyang. Enerji yang dipakai oleh insting hidup ini disebut libido. Ya, libido merupakan hasrat untuk memuaskan seksualitas. Menurut freud, semua aktivitas yang memberi kenikmatan dapat dilacak hubungannya dengan insting seksual.


2.     Insting kematian (thanatos)

Disebut juga sebagai insting destruktif yang mendorong orang untuk merusak diri sendiri. Kematian adalah kondisi stabil akhir karena tidak ada lagi pergulatan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan biologis. Masochism/masokisme, adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan thanatos, yaitu cara untuk memuaskan dorongan seksual dengan menyerang diri sendiri.


Untuk memelihara diri, insting hidup umumnya melawan insting mati itu dengan mengarahkan enerjinya keluar menuju ke orang lain, inilah yang disebut agresi. Contohnya, sadism/sadism sebagai upaya memuaskan dorongan seksual dan dorongan destruktif melalui menyerang orang lain seperti memukul, membunuh, dll. Ada juga yang tersalur dalam ekspresi yang dilemahkan seperti menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri dengan bekerja lebih keras dan bersikap merendah/meminta maaf.

 

Menurut Freud, setiap manusia dilahirkan dengan energi psikis yang kurang lebih sama jumlahnya sejak lahir hingga mati. Energi psikis ini digunakan untuk menggerakkan komponen jiwa yaitu Id-Ego-Superego. Bisa dikatakan bahwa kepribadian manusia, menurut Freud, muncul akibat persaingan ketiga komponen jiwa tersebut.  Siapa yang menang akan menentukan perilaku seseorang sehingga membentuk sebuah kepribadian.

 

Freud menggunakan istilah kateksis yang berasal dari kata Yunani kathexo yang mempunyai arti menempati. Istilah ini digunakan untuk menjabarkan penggunaan energi psikis di dalam pikiran seseorang yang diubah ke dalam bentuk suatu objek, atau proses-proses mental lain yang ditujukan untuk mencapai pemuasan kebutuhan seseorang. Misalnya, ketika seseorang sedang lapar akan muncul angan-angan tentang makanan yang disukainya. Gambaran mental seperti inilah yang disebut kateksis. Hal tersebut  menciptakan sebuah tegangan hingga kebutuhan itu terpuaskan. Apabila kebutuhan sudah terpuaskan maka energi psikis akan berceceran untuk kemudian tersedia bagi kateksis yang lain.

 

Kadangkala, kateksis yang muncul tidak dapat diterima sehingga mengakibatkan kecemasan. Maka, ego dan superego bekerja sama untuk menciptakan sebuah antikateksis. Freud menggunakan istilah antikateksis merujuk kepada energi psikis yang digunakan untuk menghambat kateksis yang tidak pantas diterima. Antikateksis membuat alternatif dimana kebutuhan awal bukannya dilenyapkan melainkan diganti dengan objek lain yang lebih aman.

 

Kecemasan membuat seseorang akan melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk meredakannya. Oleh sebab itu, ego berfungsi untuk memperingatkan seseorang tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat mempersiapkan reaksi adaptif yang sesuai melalui antikateksis. Jika pendekatan yang rasional tidak lagi efektif, maka ego akan menggunakan cara-cara irrasional (tidak masuk akal) yang disebut mekanisme pertahanan (defence mechanism).

 

Jika seseorang hanya menggunakan id dan ego, maka orang tersebut akan menjadi pribadi hedonis dan seperti hewan. Maksudnya, apabila merasa ingin sesuatu akan berupaya mencari pemuasan secara instan tanpa. Akan tetapi, dengan hadirnya superego, seseorang akan menjadi pribadi yang lebih baik.

 

Jumat, 17 September 2021

Asosiasi bebas Sigmund freud

Untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi kliennya, Freud menggunakan teknik asosiasi bebas dimana pasien dinstruksikan untuk mengungkapkan apapun yang terlintas di pikirannya pada saat itu sekalipun itu merupakan hal-hal yang remeh tanpa berusaha untuk ditutup-tutupi oleh klien. Dari ungkapan kesadaran tanpa sensor ini terapis mencoba memahami masalah kliennya. 


Freud menyadari bahwa ada kemungkinan klien tidak bersedia membicarakan beberapa hal yang melintas di benak mereka karena dianggap tidak relevan, atau tidak cukup penting, atau tidak masuk akal. Namun, Freud meminta klien untuk menghindari pengekspresian kritik dan membahas pikiran-pikiran yang seperti itu. Freud menegaskan bahwa kejujuran dan keterbukaan merupakan kondisi yang esensial bagi terapi, tidak boleh ada yang ditahan-tahan.


Ada tiga asumsi yang menjadi dasar asosiasi bebas, antara lain:

1. Apa saja yang dikatakan dan dilakukan seseorang sekarang mempunyai makna dan berhubungan dengan perkataan dan perbuatannya di masa lalu,

2. Materi tak sadar berpengaruh penting terhadap tingkah laku,

3. Materi tak sadar dapat dibawa ke kesadaran dengan mendorong ekspresi bebas setiap kali mereka muncul ke dalam fikiran.


Di dalam ekspresi-ekspresi sadar, terdapat sejumlah petunjuk seperti isi pikiran bawah-sadar lain yang bisa dideteksi oleh pengamat terlatih. Menurut Freud, meskipun klien menghalangi topik tertentu dan berusaha untuk menyembunyikannya, suatu ketika terbentuk rantai asosiasi yang membuat terapis dapat memahami konflik mental dan emosional klien. 


Asosiasi-asosiasi klien mencerminkan cara-cara kompleks di mana impuls-impuls yang tidak bisa diterima direpresi, digantikan atau disamarkan. Asosiasi-asosiasi klien mungkin terlihat bebas justru mencerminkan interaksi-interaksi kompleks antara tingkat sadar dan bawah-sadar klien.


Gambar 1. Proses asosiasi bebas

Biasanya, klien psikoanalisis menjalani terapi dalam sampai 6 sesi selama 5 menit per minggu dalam setahun. Dalam praktiknya, Freud meminta klien berbaring di sofa dengan setting cahaya ruangan agak diredupkan, sementara terapis duduk di luar jangkauan pandang klien. Freud memilih posisi demikian karena  alasan, Antara lain:


1. Tidak ingin gestur dan ekspresi wajahnya memengaruhi pikiran klien,

2. Freud sendiri tidak tahan jika dipandangi terus oleh banyak pasien selama berjam-jam.


Pada awalnya, Freud menggunakan hipnosis sebagai sarana untuk menganalisis permasalahan klien. Namun, Freud merasa tidak puas dengan hasil-hasilnya dan juga tidak semua kliennya dapat dihipnotis. Salah seorang klien Freud, Frau Emmy Von N, menjadi marah ketika Freud menginterupsinya ke dalam hipnosis. Pada saat itu, klien justru menunjukkan hasrat yang kuat untuk berbicara terang-terangan dan sebebas-bebasnya apa yang tengah dipikirkan dan merisaukan dirinya, tanpa harus diinterupsi apalagi dibawa ke kondisi tidak-sadar dalam hipnosis.


Hal lain yang mempunyai peran penting dalam perkembangan teknik asosiasi bebas adalah esai Ludwig Borne yang berjudul, “The Art of Becoming an Original Writer in Three Days”.  Dalam tulisannya tersebut, Borne mencoba menguatkan hati dan semangat para penulis pemula untuk segera mengambil pena dan memulai menuliskan apa yang ada di kepala mereka tanpa rekayasa. Artinya, penulis dapat menuliskan apa pun tentang dirinya sendiri, atau kejadian disekitarnya, atau suatu peristiwa dalam sejarah, ataupun hal-hal tertentu tentang orang lain. Hal inilah yang kemudian diterapkan Freud dalam praktik asosiasi bebas, dimana klien diinstruksikan untuk mengatakan apapun yang ada di pikiran mereka saat itu juga, kemudian dijadikan bahan evaluasi dalam psikoanalisis.

Jumat, 03 Mei 2019

Sumber inspirasi pembentuk teori Freud

Pada perjalanan hidupnya, Freud banyak bertemu dengan orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. Selama perjumpaannya itu, Freud banyak menyerap ilmu dan menerapkannya pada perkembangan teori yang menjadi dasar praktik profesionalnya.


Tahun 1885 merupakan hari yang istimewa bagi Freud. Pada saat itu beliau berkesempatan untuk  mengunjungi seorang ahli saraf kenamaan negara Perancis bernama Jean-Martin Charcot (1825-1893). Disana, Freud melihat Charcot melakukan hipnotis dalam praktiknya menangani pasien. Contohnya, Charcot menghipnotis pasien yang mengalami kelumpuhan dan mensugestinya sehingga bisa berjalan seperti sediakala. Charcot mengaku sangat terkesan oleh kemampuan pikiran untuk menciptakan dan menghilangkan simtom-simtom fisik.



Gambar 1. Ahli saraf Perancis, Jean-Martin Charcot.

Charcot memiliki minat yang besar terhadap histeria. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan jangkauan luas jenis simtom-simtom seperti kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan gangguan-gangguan penglihatan dan bicara. Para komunitas medis pada saat itu melihat pasien histeria sebagai orang yang pura-pura sakit. Hal ini dikarenakan mereka tidak menemukan adanya disfungsi organis pada pasien histeria. Akan tetapi, riset Charcot menunjukkan jika simtom-simtom fisik pasien histeria bisa jadi bersifat psikogenik. Yaitu, simtom-simtom yang dirasakan secara fisik yang dipengaruhi oleh faktor mental. Berdasarkan temuannya tersebut Charcot melakukan banyak penanganan histeria.

Freud sangat terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Charcot. Beliau mulai menerapkan hipnotisme di dalam praktik pribadinya. Akan tetapi percobaan hipnotis yang dilakukan tidak berhasil sepenuhnya. Oleh karena itu, Freud berupaya kembali mengasah kemampuan hipnotisnya dengan kembali ke Perancis.


Di tahun 1889, Freud mengunjungi Hipolyte Bernheim (1840-1919) di kota Nancy, Perancis. Seperti halnya Charcot, Bernheim juga menggunakan hipnotis sebagai metode penanganan pasien histeria. Dari Bernheim Freud memahami bahwa suatu perilaku yang muncul bisa disebabkan oleh ide-ide yang muncul di bawah sadarnya, dan ide-ide ini dapat dinaikkan ke alam sadarnya dalam kondisi tertentu.

Gambar 2. Foto Hipolyte Bernheim

Pada kesempatan lain, tepatnya akhir 1870-an, Freud melakukan riset neurologis di Universitas Wina dengan seseorang yang bernama Josef Breuer (1842-1925). Dari pertemuan itu mereka menjadi akrab satu sama lain  dan kemudian menjalin persahabatan. Keduanya saling terbuka termasuk mengenai hal yang menyangkut bidang keilmuan masing-masing. Pada tahun 1895, Freud dan Breuer menerbitkan buku dengan judul 'Studies of Hysteria'. Hasilnya, 13 tahun kemudian, buku tersebut terjual sebanyak 626 eksemplar. Meski berahabat, keduanya berbeda pendapat mengenai penyebab histeria. Freud menganggap konflik seks adalah penyebab utama histeria. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Breuer bahwa konflik seks bukan merupakan penyebab utama dan satu-satunya.

Satu hal yang menarik perhatian Freud adalah penanganan Breuer terhadap seorang pasien yang bernama Anna O (nama disamarkan). Selama masa penanganan, Nona Anna O ternyata sanggup mendiskusikan asal-muasal berbagai simtomnya itu saat ia berada di bawah hipnosis atau ketika sedang sangat rileks. Anna O Mengistilahkan proses diskusi tersebut sebagai 'talking cure' atau 'chimney sweeping' ('percakapan yang menyembuhkan' atau 'pembersihan cerobong'), sedangkan Breuer menyebutnya katarsis. perlu diketahui bahwa istilah katarsis pertama kali digunakan Aristoteles (seorang filsuf yunani kuno) untuk mendiskripsikan pelepasan emosi dan pemurnian yang dialami seorang penonton saat menyaksikan sebuah drama.

Selama proses terapi Anna O menjadi lebih terbuka kepada Breuer.  Anna O juga tak segan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang dimilikinya terhadap ayahnya kepada Breuer. Fenomena seperti ini, yaitu pasien merespoins kepada analis seolah ia seorang figur penting di hidup pasien, Freud menyebut dengan istilah transferensi. Breuer juga mulai membentuk kelekatan emosi terhadap Anna O. Oleh Freud, hal itu disebut sebagai kontra-transferensi.

Gambar 3. Foto Josef Breuer

Dalam praktik pribadinya, Freud menerapkan ilmu hipnotis yang didapat dari Charcot dan Bernheim. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua pasien Freud dapat dihipnotis. Contohnya, Salah satu pasiennya yang bernama Frau emmy Von N, justru marah ketika Freud mencoba menginterupsinya melalui hipnotis. Sang pasien justru menunjukkan hasrat yang kuat untuk berbicara secara terbuka meski tanpa harus dibawa ke kondisi tidak sadar dalam hipnotis. Dengan dasar tersebut Freud meninggalkan hipnotisme dalam praktik pribadinya dan mengganti dengan teknik asosiasi bebas. Selanjutnya, Freud menyebut asosiasi bebas sebagai aturan fundamentalis psikoanalisis. 

Hal lain yang mendasari lahirnya teknik asosiasi bebas adalah esai Ludwig Borne. Esai tersebut berjudul 'The Art of Becoming an Original Writer in Three Days' , berisi tulisan Borne tentang penguatan hati dan semangat para penulis pemula. Borne menyuruh untuk segera mengambil pena dan menuliskan "tanpa rekayasa atau kemunafikan, segala sesuatu yang datang ke kepala". Artinya, Borne menginstruksikan seorang penulis untuk dapat menuliskan apa pun tentang dirinya sendiri, atau kejadian-kejadian di sekitarnya, atau suatu peristiwa dalam sejarah, atau hal-hal tertentu tentang orang lain. dengan demikian, Borne menjamin jika seorang penulis meluangkan waktunya selama 3 hari berturut-turut untuk melakukan apa yang sudah diinstruksikannya, maka penulis tersebut akan mendapatkan sebuah ketakjuban'.

Jumat, 29 Maret 2019

Anggapan umum masyarakat awam terhadap jurusan psikologi

Sebelum menentukan jurusan kuliah ada baiknya calon mahasiswa mencari tahu terlebih dahulu tentang jurusan yang akan diambil. Mengapa? Karena dengan demikian dapat memberikan gambaran kepada calon mahasiswa untuk memantapkan pilihannya dalam menentukan jurusan. Hal ini juga dapat menghindarkan dari perasaan ‘salah ambil jurusan’ jika terjadi di kemudian hari.


Seperti yang dialami kakak tingkat penulis di jurusan psikologi, selama beberapa semester menjalani program perkuliahan dia merasakan bahwa jurusan yang diambil tidak sesuai dengan ekspetasinya. Akibatnya dia memutuskan untuk pindah ke jurusan lain. Ekspetasi yang seringkali keliru dapat menjadi bumerang dan menurunkan semangat belajar mahasiswa dalam menjalani program mata kuliah. Supaya hal ini tidak terjadi lagi (paling tidak dapat meminimalisir), berikut penulis telah merangkum mengenai anggapan/ekspetasi yang kebanyakan keliru sehingga perlu diperhatikan sebelum memilih jurusan psikologi kedepannya.


       1  Anak Psikologi dapat membaca pikiran orang lain

Tentu hal ini tidak sepenuhnya benar. Coba bayangkan, kita saja seringkali keliru dalam mempersepsi pikiran kita sendiri. Lalu, bagaimana mungkin kita dapat mempersepsi pikiran orang lain? Memang dalam psikologi ada cara untuk menterjemahkan gerak-gerik/bahasa tubuh seseorang, akan tetapi hal tersebut hanya terbatas pada hal yang tampak (keadaan fisik) pada seseorang saja, sedangkan pikiran seseorang merupakan proses mental yang tidak dapat dilacak. Kita mungkin dapat mengambil kesimpulan bahwa seseorang sedang marah atau bahagia dengan melihat raut mukanya, akan tetapi hal sesungguhnya yang tersembunyi dalam hati dan pikiran hanya orang tersebut dan Tuhan yang tahu.

    2. Di psikologi tidak ada berhitung

   Jangan coba-coba mengambil jurusan psikologi bila enggan untuk berhitung. Pasalnya, dalam penelitian psikologi mahasiswa dihadapkan pada data statistik hasil dari penyebaran skala yang kemudian dihitung supaya dapat ditarik suatu kesimpulan. Jadi, tidak benar bila dikatakan bahwa di psikologi tidak ada yang namanya berhitung.

    3. Anak psikologi dapat menghipnotis orang lain

   Bila anda mempunyai teman di jurusan psikologi, silahkan bertanya, “sudah berapa kali anda diminta untuk menghipnotis orang?” Saya bisa tebak teman anda akan tertawa begitu mendengar pertanyaan tersebut.  Bagaimana tidak, selama mengikuti program kuliah penulis belum pernah diajari cara menghipnotis orang. Begitupun dalam program mata kuliah tidak ada yang namanya ‘hipnotis’. Pernah suatu ketika penulis dan teman sekelas di beri slide powerpoint (PPT) yang berisi tentang hipnotis, akan tetapi hal tersebut tidak berarti apa-apa karena penulis dan teman-teman yang lain tidak diberi penjelasan yang cukup dan tidak memungkinkan untuk mengaplikasikannya ke orang lain. Jadi jangan takut bila berhadapan dengan anak psikologi, jika memang bisa menghipnotis orang lain pasti tidak akan dilakukan sembarangan karena di dalam psikologi ada kode etik yang harus dipatuhi.

    4. Calon HRD (Human Resource Department/ Personalia)

Mungkin ini yang paling realistis daripada yang lain. Pasalnya, dalam psikologi terdapat mata kuliah ‘Psikologi Industri dan Organisasi (PIO)’ yang kedepannya dapat digunakan untuk menjalankan tugas-tugas seorang HRD. Dalam PIO mahasiswa diajarkan untuk memetakan keperluan suatu perusahaan seperti jumlah karyawan yang dibutuhkan dan pembagian perencanaan kerja melalui job description (penjabaran kerja) atau lebih dikenal dengan ‘job desc’. Hal ini didukung dengan mata kuliah Skala penyusunan Psikologi (PSP) dimana skala psikotes dapat digunakan untuk menyeleksi potensi calon karyawan.

   5. Mahasiswa Psikologi mayoritas perempuan

Benar sekali dan memang begitulah adanya. Dari pengamatan penulis mulai dari adik tingkat hingga ke kakak tingkat di psikologi, rata-rata paling banyak mahasiswa psikologi dihuni oleh perempuan. Sedikit sekali laki-laki di dalam kelas. Dulu saat awal-awal semester, jumlah laki-laki di kelas penulis sebanyak 10 orang berbanding 30-an perempuan. Seiring bertambahnya semester jumlah laki-laki di kelas berkurang, kebanyakan memilih meninggalkan psikologi. Kejadian serupa juga terjadi di kakak dan adik tingkat di psikologi, sehingga dapat dikatakan bahwa di jurusan psikologi jumlah perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki.

   6. Anak psikologi akan terlibat dengan pasien sakit jiwa

  Memang masuk akal bila psikologi selalu dikaitkan dengan jiwa karena dari pengertiannya sendiri ini adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Tetapi, tidak semua sub kejuruan psikologi menangani masalah kejiwaan. Seperti halnya PIO yang mengarah ke industri dan organisasi, atau Psikologi pendidikan yang mengarah ke dunia pendidikan tentunya. Untuk masalah kejiwaan sendiri akan di tangani dalam psikologi klinis. Jadi, bila anda berminat di psikologi klinis boleh jadi anda akan berhadapan dengan kondisi kejiwaan orang lain.


   7. Masuk psikologi untuk mengobati diri sendiri

Seringkali saya bertanya kepada teman psikologi mengenai motivasi mereka untuk masuk jurusan  psikologi. Diantara beberapa respon ada salah satu jawaban yang menarik hati penulis. Hal tersebut ialah adanya anggapan bahwa dengan masuk jurusan psikologi bisa 'sekalian rawat jalan' atau mengobati diri sendiri. Setelah diselidiki lebih lanjut diketahui bahwa mahasiswa tersebut merasa mempunyai masalah dengan jiwanya dikarenakan pernah mengalami peristiwa yang membuat dirinya tertekan. Dalam kasus ini, bukan tidak mungkin seorang mahasiwa yang secara mental belum siap akan semakin tertekan kedepannya dikarenakan rutinitas yang padat selama proses belajar-mengajar.


Demikian sedikit gambaran mengenai jurusan psikologi, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.


Sumber referensi: pribadi.



Artikel Pilihan